09 September, 2008
Lentera Jiwa
LENTERA JIWA
source: http://www.kickandy .com//
Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena pecah kongsi dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi, dengan power yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. Andy ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain.
Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya dipindahkan oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.
Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari keju itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti lentera jiwa saya.
Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Hati yang dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang. Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera jiwanya ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.
Ketika diminta untuk menjadi pembicara dikampus-kampus, saya juga menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak ditelevisi dan kini memiliki restoran sendiri. Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini, ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya. Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi.
Gembira terus. Nggak ada capeknya, ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone.
Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya, katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya.
Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi.
Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.
Andy F. Noya
Wartawan menjadi cita-cita Andy Flores Noya sejak ia masih terbilang kecil. Tak heran, meskipun lulusan sekolah teknik, Andy ngotot melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik (STP). Ia mengaku tak tertarik pada teknik. Bungsu dari lima bersaudara keluarga Ade Wilhelmus Flores Noya dan Nelly Mady Ivonne Klaarwater ini lebih menyukai sastra.
Ketika mendaftar di STP, Andy terbentur persyaratan administratif. Lulusan teknik tak boleh masuk sekolah publisistik. Ia lantas membujuk ibunya menemui rektor. Sang ibu pun memohon kepada rector STP agar putranya diperbolehkan menjadi mahasiswa. Pimpinan sekolah tinggi itu menyarankan agar mereka datang ke Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dirjen Dikti). Akhirnya, pihak Dikti luluh dan kemudian memberinya rekomendasi. Kalau tidak, dunia pers kita tidak akan menemui seorang Andy F. Noya.
Semasa kuliah, lelaki berambut kribo itu mencoba terjun menjadi wartawan. Sentuhan pertamanya dengan dunia jurnalistik boleh dibilang tanpa sengaja. Waktu itu, sekitar pengujung Oktober 1985, ia mengantar seorang temannya melamar kerja di majalah Tempo -- dan ia tertarik mengikuti tes. Andy pun diterima dan ditempatkan sebagai reporter buku Apa & Siapa Sejumlah OrangIndonesia yang diterbitkan oleh majalah berita mingguan itu. Di sanalah ia berkenalan dengan Rahman Tolleng, pemimpin penerbitan yang kemudian diakuinya sebagai guru jurnalistiknya yang pertama.
Tempo adalah tonggak pertama dalam perjalanan karir Andy, yang dilakukan sembari kuliah. Tapi pada 1986, karena kesulitan membagi waktu, ia memutuskan berhenti kuliah dan berkarir penuh sebagai wartawan. Dua tahun bergabung dengan Tempo, ia sempat diusulkan direkrut penuh majalah pimpinan Gunawan Mohamad itu. Tapi, ia kemudian memilih pergi.
Pada 1987, ketika harin Bisnis Indonesia terbit, Andy ditawari Lukman Setiawan (salah seorang pendirinya) untuk bergabung. Ia pun tergoda. Katanya, harian lebih dinamis. Selain itu, Tempo memiliki nama besar yang membuat Andy kurang nyaman dan merasa kehilangan jati diri.
Andy termasuk 19 reporter pertama yang direkrut harian ekonomi tersebut. Peminpin redaksi saat itu, Amir Daud, diakui Andy sebagai gurunya yang kedua. Toh, Andy cuma betah sekitar dua tahun di sana. Pada 1988, lelaki humoris itu hengkang. Ia kemudian melompat ke Matra, majalah khusus lelaki. Suatu waktu, Matra hendak membuat liputan tentang prostitusi yang melibatkan para selebriti Indonesia. Andy “turun ke lapangan” dengan menyamar, lalu membayar kaki tangan seorang mucikari untuk menceritakan ihwal bisnis mereka. Sang mucikari ternyata pengusaha kayu. Setelah akrab dengan sumbernya, ia memberanikan diri mengorek seputar “bisnis syahwat” tersebut. Hasilnya, ia mendapat lebih dari cukup. Ia bahkan memperoleh daftar nama sejumlah selebriti perempuan, lengkap dengan alamat, nomor telepon, radio panggil, berikut tarifnya segala.
Setelah majalah pimpinan Fikri Jufri itu memuat liputan esek-esek itu, akibatnya cukup menghebohkan. Andy bahkan diancam sang pengusaha, yang takut berdampak buruk atas bisnis perkayuannya. Lagi pula, karena dalam tulisannya Andy juga menyebutkan bahwa si mucikari itu alumnus salah satu universitas negeri pada 1973, giliran alumni perguruan tinggi itu mengajukan protes keras. Merasa tercemar nama baiknya, mereka menggugat “Majalah Trend Pria” tersebut.
Pengalaman berkesan lain selama menjadi wartawan Matra adalah ketika mengikuti ekspedisi kapal Dewa Ruci. Sekitar sebulan, Andy ikut kapal latih milik Angkatan Laut RI itu yang melakukan pelayaran ke Thailand, Brunei, dan beberapa negara lainnya. Banyak pengalaman yang didapatnya, termasuk mabuk laut sampai berkali-kali ia termuntah-muntah. Ia menamainya “muntah kuning”.
Sekitar awal 1992, Andy kembali gelisah. Naluri kutu loncatnya kambuh lagi. Apalagi ketika laporan peledakan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, tak bisa diturunkan. Lelaki berkaca mata minus itu kemudian loncat ke koran Media Indonesia (MI). Hari pertama di harian itu membawa perubahan drastis dalam jam tidurnya. Ia merasa seperti dikejar-kejar setan. Ketika di Matra, Sabtu dan Minggu libur, dan pukul enam sore tiap hari kerja ia sudah bisa pulang ke rumah. Di MI ia terpaksa pulang tengah malam, dan pukul delapan pagi sudah berada di kantor lagi.
Ketika stasiun televisi swasta marak bermunculan, Andy tergoda. Dalam benaknya terbersit, “Mungkin hidupku yang sejati ada di televisi”. Suatu siang pada 1998, saat semobil dengan bos MI, Surya Paloh, ia mengutarakan rencananya untuk pindah ke RCTI. Paloh bukannya mengizinkannya, ia malah menawarinya membikin televisi baru. “Kalau mau, kamu magang saja di RCTI, sambil kita pikirkan bikin televisi. Kamu tetap di Media saja,” kata Paloh kepada Andy waktu itu.
Setahun berselang, rencana Paloh dan Andy pun terwujud. Pada 1999, berdirilah Metro TV. Stasiun televisi itu dibangun dengan konsep dan format CNN, televisi berita 24 jam nonstop milik Time Warner Inc. Konsep tersebut kemudian diracik kembali agar lebih membumi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Di televisi berita pertama di Indonesia itu, Andy diberi kepercayaan penuh sebagai pemimpin redaksi.
Hari-hari Andy di Metro TV boleh dibilang supersibuk. Ia terkadang baru pulang larut malam, bahkan pagi hari. Kendati demikian, hubungannya dengan keluarganya tetap hangat. Istrinya, Retno Palupi, yang dinikahinya pada 1987 menyebut bahwa hidup bersama Andy Noya itu penuh dinamika. Mereka dikarunia tiga anak lelaki.
“Pagi-pagi anak-anak sudah dibangunkan dengan musik,” kisah Palupi. Lalu, di malam hari, menjelang terlelap, mereka berbagi cerita. Kadang-kadang salah seorang terpaksa mengingatkan yang lain agar tidur, karena besok keduanya harus bangun pagi untuk berangkat ke kantor. Palupi juga sering mengirim cerita-cerita lucu melalui internet. Andy menyebut istrinya “pendongeng”.
Hari Minggu adalah hari keluarga. Andy bersama istri dan anak-anaknya seringkali pergi jalan-jalan. “Yang jelas, kalau Sabtu malam Minggu adalah waktu kami berdua untuk pacaran. Aku dan Andy jalan tanpa anak-anak,” ujar Palupi yang dulu juga pegawai Tempo.. Mereka berkenalan di sini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- ekabees
- keberadaan saya didunia ... bagi saya adalah keberkahan yang sangat besar .. anugerah tiada tara .. dunia peternakan menjadi salah satu tempat terindah yang saat ini saya selami ... sedikit yang saya dapat berikan saat ini ... sedikit yang dapat saya abdikan saat ini ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar