29 Desember, 2010

GARUDA DIDADAKU

Sebuah luka kembali menganga dari torehan kekalahan Tim Nasional Indonesia di Final Piala Suzuki AFF 2010 dengan agregat 4 - 2. Tentunya sangat menyesakkan dan tentunya sangat membuat lemas seluruh persendian rakyat Indonesia, minimal sesaat ... atau juga bisa menjadi torehan yang sangat dalam dan berpotensi membusuk.
Kekalahan dari Malaysia, bukan dari Laos atau dari Philipina atau dari Vietam atau dari Brunei Darussalam atau dari Timor Leste sekalipun. Tentunya kekalahan dari negara serumpun ini sangat membuat angka psikologis yang tertekan dan semakin berat, disamping adanya beberapa kasus yang terjadi dengan Malaysia, juga suatu hal yang sangat miris dimana anggota skuad Tim Nasional Malaysia berisikan pemain lokal yang masih muda dan pelatih yang juga pelatih lokal, memberi satu petunjuk betapa terprogramnya pola mereka dalam melakukan pembinaan pesepakbolaan.

Sementara dipihak Indonesia, sangat terasa sekali satu nilai yang bergeser. Tim Nasional yang diharapkan dapat mengangkat moral bangsa, dapat mengembalikan supremasi sepakbola dikancah regional seakan surut. Supporter yang kembali bergairah untuk hadir di Gelora Bung Karno merupakan jawaban atas hausnya rakyat pecinta bola dengan prestasi yang lama tidak menghampiri negara dengan pilihan pemain yang sangat banyak diantara 230 juta jiwa. Tidak hanya itu, geliat perekonomian rakyat kembali terhentak dengan laris manisnya penjualan kaos Tim Nasional setelah sebelumnya didominasi kaos dari klub dan tim nasional luar negeri. Setiap orang di seluruh sudut wilayah hampir kebanyakan berbicara tentang Irfan Bachdim, Christian ”El Loco” Gonzales, Firman Utina, Okta Maniani, Bambang Pamungkas atau Markus Haris Maulana, sehingga banyak kaum adam Indonesia yang agak ’jeles’. Minimal sampai menjelang final melawan Malaysia di Stadion Bukit Jalil, kebanyakan akun jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter atau Plurk, juga blog dan artikel-artikel di media massa dan elektronik ramai membicarakan prestasi mengejutkan sekaligus menggembirakan. Akhirnya semuanya sirna sejak tanggal 26 Desember lalu ... meski berduyun-duyun supporter Indonesia ’ngeluruk’ ke Stadion Bukit Jalil di Kuala Lumpur dengan seluruh atribut lengkap ditambah dengan toleransi yang begitu besar atas perlakuan panitia lokal PSSI (LOC) dalam pengaturan penjualan ticket pertandingan di GBK, kita kalah 0 – 3.. Dengan pompa semangat yang masih ada, kesempatan kedua di tanggal 29 Desember di rumah sendiri Gelora Bung Karno, kembali Tim Indonesia harus mengakui seluruh kemampuan yang ada pada Tim Nasional Malaysia. Ketegangan sudah muncul sejak awal pertandingan yang ditandai dengan gagalnya tendangan penalti sang kapten Firman Utina, dan ini jelas membuat skuad Tim Nasional Malaysia bergembira sehingga mampu mencuri gol terlebih dahulu dan itu menjadi beban berat. Gol penghibur Ahmad Nasuha dan tendangan defleksi M. Ridwan menjadi gol terakhir pada seluruh rangkaian kejuaraan piala Suzuki AFF 2010, seluruh penonton di Gelora Bung Karno yang berharap sebuah perubahan hanya bisa terdiam dalam kemenangan 2 – 1 difinal leg kedua dan menyirnakan seluruh harapan yang ada.

Seperti banyak orang bijak manyatakan untuk ”Menunda Kenikmatan” atau ”Ada tangis dalam Kegembiraan Berlebihan” atau ”Jangan Cepat Berpuas Diri” atau ”Jangan Meremehkan Orang lain” dan banyak kata-kata bijak lainnya seakan dilupakan dan tidak menjadi ’koco brenggolo’. Eufora kegemilangan Tim Nasional Indonesia dengan luar biasanya, melaju dengan kemenangan terus menerus di tiga laga penyisihan dan dua laga semifinal telah menyilaukan mata hampir seluruh pengurus PSSI. Mereka mengusung seluruh skuad merah putih seakan sudah menjadi Juara Dunia, seakan Malaysia yang dihantam 5 – 1 dipenyisihan, akan mampu disikat, minimal dengan angka yang sama. Tetapi ternyata mereka melalui FAM-nya benar-benar mampu belajar dan bebenah diri, menghindari publikasi, menyiapkan laga semifinal dengan baik sehingga menghancurkan Laos 2 – 0 di Bukit Jalil dan memaksa Laos gigit jari dengan bermain sangat defensif dan memaksakan skor akhir 0 – 0 tidak menjadi pantauan Tim Nasional Indonesia, dengan santainya pengurus PSSI mengajak beranjang sana ke mana-mana, pemain dielu-elukan pawa wanita dan akhirnya mempolitisir pesepakbolaan Indonesia. Stasiun Televisi Swasta mengusung anggota Tim Nasional dalam banyak event wawancara juga para istri mereka, seakan mereka adalah juara. Kembali lengah, istighosah ke Pondok pesantren di 16 jam sebelum pertandingan dan pengaturan jadual internal PSSI yang ngawur menjadikan berantakan seluruh pola permainan, mereka jadi manja, termasuk saat ada kelebatan sinar laser berwarna hijau di wajah sang kiper Markus Horison di menit ke-51 saat Final Leg pertama seakan menjadi pengantar mula malapetaka, akhirnya tiga gol tanpa balas dituai.

Tentunya nasi sudah menjadi bubur, semuanya tidak akan kembali dan seluruh penyesalan menjadi tidak berguna. Tidak ada hal yang sementara ini bisa dibanggakan, tetapi ada beberapa hal yang dapat dipetik :
1. Tim Nasional memiliki potensi luar biasa yang tentunya dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi pembinaan berkelanjutan dimasa mendatang
2. Mental pengurus PSSI dan seluruh stake holder yang menaungi pesepakbolaan Indonesia harus dibenahi agar pembinaan sepakbola Indonesia benar-benar menuju prestasi yang membanggakan
3. Belajar dari Malaysia yang segera melakukan pembenahan untuk berprestasi lebih baik. Model pembinaan yang sangat mantap, terbukti dengan seluruh pemain yang merupakan pemain lokal hasil kompetisi mereka ditambah pelatih nasional yang juga pelatih lokal serta umur pemain yang masih muda
4. Bersatunya seluruh pelaku, pemerhati dan stake holder terkait sepakbola nasional untuk kembali menyamakan visi dan misi, melaksanakan pembinaan berjenjang serta melakukan pembinaan matang mulai dari akar dan tidak saling berseberangan satu sama lain
5. Supporter Tim Nasional yang sangat fanatik dan siap mendukung, terbukti dengan antusiasme yang sangat besar dan terus menerus dari seluruh elemen masyarakat dalam mendukung pesepakbolaan nasional
6. Garuda Didadaku ....

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
keberadaan saya didunia ... bagi saya adalah keberkahan yang sangat besar .. anugerah tiada tara .. dunia peternakan menjadi salah satu tempat terindah yang saat ini saya selami ... sedikit yang saya dapat berikan saat ini ... sedikit yang dapat saya abdikan saat ini ...

COWMANIA

COWMANIA