04 Desember, 2011

Menuju Namlea - Expedisi Waeapo



Roda burung besi LION Air menjejak manstaf di Runway Bandara Pattimura – Ambon – Provinsi Maluku. Keberangkatan pukul 01.30 WIB dari Bandara Soetta menyapa bumi manise tepat pukul 07.00 WIT. What an amazing moment, sudah lama kerinduan untuk dapat menghirup bumi Indonesia Timur akhirnya mulai terkuak dan terealisasi perlahan, alhamdulillah. Terakhir kali berkunjung ke Indonesia Timur adalah saat Kemah Kerja Mahasiswa Peternakan Indonesia (KKMPI) Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (Ismapeti) tahun 1994, wuihhhh … setelah 17 tahun berselang coy

Baru saja handphone menyala di dalam terminal, berderinglah “tempat terakhir”-nya PADI yang menanda panggilan masuk, “Sonya J. Sahureka, Ms” … “hallo Sonya, saya baru saja landing”, sebuah jawaban atas satu kata “halo” dari ujung handphone lainnya, “oke aku segera kesana”, Sonya menjawab. Saat saya sedang mengambil troly untuk bagasi di luar, sebuah panggilan menyentak gendang telinga saya, “Eka !”, “halo Sonya, apa kabar”, jabat tangan dan salam komando-pun terjadi, “tunggu sekejap, saya urus bagasi ini”, lanjut saya sambil kembali masuk dan menunggu bagasi yang disetiap maskapai penerbangan selalu memakan waktu minimal 30 menit sejak landing … waktu yang menurut saya cukup lama menguras masa (mungkin hal ini yang membuat banyak penumpang lebih memilih menggotong bagasi bertubi-tubi kedalam kabin sehingga kabin serasa penuh sesak – kita tunggu saja kejadian beberapa pesawat yang runtuh bagasi kabinnya karena terlalu sesaknya bagasi diatas) ..he..he..

Setelah berjuang keluar dari antrian yang berantakan proses verifikasi bagasinya, akhirnya .. berhasil juga saya keluar dan sudah menunggu Sonya beserta taksi yang akan membawa saya ke Kota Ambon. Taksi itu yang siangnya juga menjemput Uda Masril Koto dan malamnya mengawal kami ke Kapal Motor Penumpang (KMP) Temi yang akan membawa kami ke Namlea.

Kali pertama, kami menuju kota Ambon melalui kapal Ferry di Laha, dengan membayar Rp 20.000 sekali jalan, selama 15 menit kami menyeberang sampai ke Pelabuhan Galala. Tidak sampai setengah jam, kami berhenti di Guest House Mulia di Jl. Rijali no. 19. mengambil kamar standar dengan tarif Rp 143.000 (termasuk pajak), saya letakkan bagasi dan kemudian sejenak menunggu kedatangan taksi. Selanjutnya sudah dapat ditebak, sarapan …. kami memilih kopi sebagai pengantar pagi hari yang cerah di Kota Ambon ini dengan mengunjungi Rumah Kopi Sibu-sibu yang sangat unik, kecil dan penuh dengan pigura tokoh-tokoh dari Maluku yang berprofesi sebagai penyanyi ataupun tokoh olah raga, termasuk pesepak bola dari negeri Belanda yang salah satu atau salah dua orang tuanya berasal dari Ambon. Kopi Rarobang, sebuah racikan kopi yang ditambah dengan serpihan kenari dan Kasbitone, seperti getuk (singkong direbus, dilumat dengan kelapa dan gula jawa) yang dibakar menjadi teman pagi itu.

Perjalanan dilanjutkan sampai ke Pintu Kota, sebuah pantai di desa Nusa Wine yang banyak disiarkan di televisi dengan model yang seperti pintu gerbang, sangat eksotik. Kami berjalan sampai ujung teratasnya dan menikmati seputaran pantai yang biru dan kehijauan sampai disekitar karang, luar biasa … subhanallah.

Wisata pantai sampai sesiang itu tidak berhenti di Pintu Kota, kami masih melanjutkan perjalanan pantai di Pantai Lamalattu, Kota Ambon yang sangat indah, sebagian pantainya merupakan karang dan sebagian lagi pasir putih. Pada satu hari diseputaran akhir bulan Maret dan akhir bulan April, ada cacing Laur yang biasa mendekat ke pantai dan banyak diperebutkan oleh masyarakat untuk dijadikan santapan. Siang yang membuat ngantuk karena sepoi-sepoinya angin.

Tidak mau terjebak dengan rasa kantuk, kamipun bergegas menuju kota Ambon untuk makan siang, sebelum sampai di lokasi makan siang, kami berkunjung ke rumah Kak Nona, teman lama saat Diklat Jurnalistrik tahun 1993 di Baturraden. Setelah beranjangsana bersama Kak Nona dan keluarga, kami beranjak menuju rumah makan sederhana yang menyajikan makanan khas Ambon, ada ikan asap, ikan bakar, ikan kuah kuning, sayuran dan sambal. Puas bermakan siang, kami bergerak menuju bandara menjemput Uda Masril.

Setelah menjemput, kami menuju Natsepa, sebuah kompleks wisata pinggir pantai yang menawarkan nuansa laut yang indah dan juga rujaknya yang nyummmmyy. Bentuknya agak aneh, karena bumbu rujak dipadu dengan ulekan kacang tanah goreng, gula jawa dan cabai serta semua bahan (ketimun, ubi, jambu, belimbing) dilumat sebelum disajikan.

Setelah dari Natsepa, kami menuju penginapan dan bersiap-siap untuk melangkah menuju Galala, KMP Temi yang akan membawa kami ke Namlea sudah menunggu. Beruntung kami dapat memperoleh tempat di kelas bisnis, kelas VVIP dan kamar sudah habis. Kami berbaur dengan seluruh penumpang dalam ruangan yang terdiri dari seratusan tempat tidur bertingkat, beralas matras. Perjalanan di mulai pukul 20.00 WIT dan tanpa terasa kantuk menyerang ditengah hirup pikuknya penumpang yang membawa perjalanan selama delapan jam menuju Namlea. Cukup tiga kali terbangun untuk memastikan kondisi aman terkendali untuk kemudian kembali larut dalam pulasnya mimpi yang merapakkan KMP Temi di Dermaga Pelabuhan Namlea tepat pukul 04.00 WIT. Dijemput Bruder Petrus dan Bung Iron kami menyusuri jalanan kota Namlea dan berhenti di kepastoran Namlea untuk sejenak beristirahat di Paroki Maria Bintang Laut Buru. Ke pulau Buru ini ada dua Paroki, Paroki Buru Utara dan Paroki Buru Selatan. Di Paroki Buru Utara dipimpin oleh Pastor Yoseph Rettob, MSC didampingi satu Bruder, Bruder Petrus Pangemanan, MSC dan dua Frater, Frater Marcel dan Frater Etus Rumsory (berasal dari Pulau Tanimbar –pulau paling Selatan di kepulauan Maluku, terkenal dengan hasil utama mutiara) serta satu Driver, Bung Iron.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
keberadaan saya didunia ... bagi saya adalah keberkahan yang sangat besar .. anugerah tiada tara .. dunia peternakan menjadi salah satu tempat terindah yang saat ini saya selami ... sedikit yang saya dapat berikan saat ini ... sedikit yang dapat saya abdikan saat ini ...

COWMANIA

COWMANIA