25 Januari, 2012
Kembali ke Ritme ... dan lahirlah Kreatifitas - Ekspedisi Waeapo II
Hari yang cerah itu dimulai dengan pembumbunan lahan rumput dan penananaman stek baru sampai menjelang tengah hari, seperti biasa, saat istirahat menjelang dan kelompok mulai berkumpul sampai menikmati rokok dan sirih-pinang, saat itulah masukan-masukan dan pendampingan tentang arti pelaksanaan kegiatan dilaksanakan sebagai sarana yang paling mudah untuk memberikan penyuluhan. Selepas makan siang, kelompok segera bergerak menuju jalan menuju lokasi, sabetan parang mulai melakukan tugas membersihkan rumput liar yang menutupi lokasi. Selepas parang bekerja, giliran herbisida bergerak menyemprot tanaman liar sampai tandas. Selepas siang, pergerakan menuju kediaman Pak Roni dilakukan, melalui Kampung Dalam yang dihuni penduduk asli dengan vegetasi hutan yang menyejukkan. Beberapa orang anak sedang ambil kesempatan bersumbangsih bagi keluarga dengan menunggu dan berjualan durian jatohan. Kesempatan sangat terbuka karena kaum lelaki dewasa banyak yang pergi menambang emas. Setelah hutan, kompleks persawahan yang subur dan manstaf terbentang menampakkan kesuburan alam Indonesia. Sebelum senja datang, kami sudah mencapai kediaman beliau berbentul leter ‘L’ dengan bagian depan digunakan untuk warung kelontong dan lokasi pijat refleksi (beliau saat menjadi tahanan politik, sempat berguru diam-diam dengan seorang singkek, bernaka Li Tek Hwan). Sementara hujan mulai rintik-rintik dan beliau sedang bepergian, kami berbincang dengan istri beliau yang ternyata istri beliau dari perkawinan yang ketiga. Perkawinan pertama beliau harus terpisah karena beliau ditangkap oleh Orde Baru dan berpindah dari penjara satu kepenjara lainnya. Kemudian beliau menikah kembali dan kembali harus berakhir karena terpisah oleh kerusuhan tahun 1999. Kemudian perkawinan ketiga dengan seorang ibu yang membawa empat orang anak. Sekitar 30 menit kami menunggu sampai akhirnya muncul sosok yang ditunggu, seorang lelaki berumur dengan baju batik cokelat bercelana pendek. Wajah yang tampak sangat segar terpancar dari sosok yang pernah mengalami jutaan kekerasan fisik diwaktu itu. Sambutan sangat hangat kami terima dan berteman dengan barang dagangan di warung kelontongnya itu, beliau menceritakan perjalanan kehidupan beliau sejak beliau bergabung dengan laskar pelajar sampai akhirnya beliau masuk tentara untuk kemudian ditangkap dan berpindah-pindah penjara sampai akhirnya dibuang di Pulau Buru. Cerita demi cerita mengalir sejak awal pertama tiba di Pulau Buru sampai akhirnya berkehidupan dan tidak bersedia kembali ke Pulau jawa karena keinginan beliau untuk tetap memajukan Pulau Buru bersama-sama dengan tahanan politik lainnya, seperti : Bapak Kuncung dan Bapak Slamet. Tanpa terasa pukul 23,00 WIT pembicaraan berakhir dan kami harus kembali ke asrama. Kapsul kosong yang beliau harapkan dapat dibawakan dari Jawa melalui Uda Masril telah diserahkan dan diharapkan dapat digunakan untuk obat-obatan herbal yang beliau kembangkan. Beliau memohon agar dapat membantu beliau menganalisa gingseng dari Korea yang sudah beliau tanam. Sungguh perjalanan yang mengasyikkan dan menginspirasi, karena beliau selalu berpesan untuk dapat “TIDUR DENGAN TERSENYUM”
Keesokan harinya, aktifitas tetap dilanjutkan dengan melakukan pembersihan lahan sampai menjelang sore. Malam hari dilanjutkan pertemuan dengan Pak Agus, Pak Alex dan Pak Tony tentang rencana kelanjutan pelaksanaan pembangunan ketel penyulingan minyak kayu putih. Jumat pagi acara dilanjutkan dengan pencarian kayu dan bambu untuk rangka rumah ketel. Sempat saya bercakap tegas dengan mereka karena ada perselingkuhan kesepakatan, awalnya rumah ketel terdiri atas dua tungku, dimana satu tungku berisi dua ketel, tetapi dari rangka yang dibangun, mereka membuat satu tungku untuk satu ketel, otomatis saya segera melakukan tindakan tegas untuk mengkondisikan kelompok agar selalu berada pada koridor yang konsisten dan memiliki komitmen. “kalau begitu, hentikan semua kegiatan, kita berkumpul lagi dan berembug untuk merubah konsensus”, tegas saya, mendadak sontak mereka terdiam dan akhirnya mereka melakukan perubahan rangka rumah dengan merubah menjadi satu tungku dua ketel. Saya diam dan tidak bergerak meninggalkan lokasi, saya tetap menemani mereka. Saya kemudian sampaikan kepada Pak Tony selaku ketua tim 6 bawa ketegasan adalah hal yang penting untuk menjaga konsistensi dan komitmen kelompok. Saat hujan mulai turun dengan derasnya, acara dilanjutkan di dalam bangunan asrama dan tiba-tiba saja ide untuk membuat kolam ikan kembali terkuak, sebuah kreatifitas yang selama ini terkungkung dalam ketidakmampuan dalam mengungkapkan. Sore itu pula timbul satu kreatifitas yang luar biasa, atap akan dibuat bersama dengan kelompok, tidak jadi membeli. Keputusannya, sebagian kelompok akan melakukan pencarian daun sagu untuk atap dan sebagian lain akan meneruskan pencarian bahan baku untuk rumah ketel, sebuah pengaturan mandiri dan kreatif.
Acara pagi terlalui dengan berkumpul untuk mempersiapkan diri menuju ke lokasi tanaman sagu milik keluarga Besan yang melalui jalan di Unit 5. Saat berbelok dan melewati unit 5, terlihat jelas perbedaan bangunan antara masyarakat transmigrasi dengan penduduk asli. Rumah batu dan model arsitektur modern banyak berdiri diseputaran lokasi milik masyarakat transmigrasi. Sementara rumah milik masyarakat adat masih didominasi kayu dan berlantai tanah atau campuran pasir-semen. Satu lagi kearifan lokal tampak, setiap anggota masyarakat diperbolehkan mengambil daun dan sagu tanpa memandang golongan. Kebebasan ini sangat tampak dimana kami bebas memilih tanaman sagu. Tidak kurang dari lima gelondong daun sagu berhasil diambil dengan bobot rataan 40kg. Selesai dmuat, daun dibawa ke lokasi dan dianyam untuk dijadikan atap rumah ketel. Kesepakatan sore itu, besok pengambilan daun dilakukan lebih cepat, sekitar pukul 07.00 WIT diharapkan sudah berangkat. Sayapun memerlukan untuk pergi ke rumah Ibu Bidan Paulina, saya perlu amoxycilin untuk mengatasi infeksi tubuh karena daya tahan yang menurun, terjadi pembengkakan kelenjar getah bening. Sempat pula percakapan tentang fasilitas obat-obatan di seputaran Waeapo yang jarang tersentuh obat paten, hampir seluruhnya obat generik ditambah bebrapa tenaga kesehatan masih belum memiliki alat-alat kesehatan, meski itu hanya sebuah stetoskop sekalipun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- ekabees
- keberadaan saya didunia ... bagi saya adalah keberkahan yang sangat besar .. anugerah tiada tara .. dunia peternakan menjadi salah satu tempat terindah yang saat ini saya selami ... sedikit yang saya dapat berikan saat ini ... sedikit yang dapat saya abdikan saat ini ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar