15 Januari, 2013

Tantangan itu adalah Peluang Terbaik - Ekspedisi Waeapo II

Seperti biasa, perjalanan tengah malam sampai pagi menjelang melalui sebuah penerbangan tanpa henti dari Bandara Soekarno-Hatta sampai Bandara Pattimura diisi dengan ‘bertapa’ alias molor alias dalam mimpi panjang. Pak Santi dengan Innova hitamnya sudah siap dan segera membawa kendaraan di pelataran. Setelah meneguk kopi hitam, penginapan adalah lokasi paling pas untuk membersihkan diri dan menyimpan barang bawaan. Selepas tengah hari, perjalanan keliling salah satu sisi kota Ambon dilakukan setelah makan siang dengan ikan kuah kuning. Komunikasi melalui panggilan telephone atau BBM dan SMS sangat mudah mengalir, mengisi sebagian waktu disiang yang terik.

Selepas makan siang, perjalanan menuju kawasan Maluku Tengah dilakuan melewati sisi bandara. Kondisi wilayah Maluku Tengah yang sedang melakukan persiapan pemilihan Pimpinan Daerah sangat indah disepanjang pantai, seandainya dilakukan eksplorasi wisata pntai, tentunya akan menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang menarik. Perjalanan berlanjut sampai ujung Teluk Alang yang merupakan tanah kelahiran Gubernur Maluku, Bapak Karel Albert Rarahallu. Sore menjelang dan perjalanan sepanjang siang sampai sore itu menyisakan kepuasan yang sangat saat mendalam akan keagungan Yang Maha Memberi. Persiapan satu jam menuju waktu untuk segera ke pelabuhan dan berangkat ke Namlea. Selepas mampir membeli handuk, perjalanan menuju Pelabuhan kecil bernama Waeame sangat lancar dan segera menyewa sebuah sampan bermotor (disana dikenal dengan nama Speed Boat). Kurang dari sepuluh menit, speed boat sudah mencapai pintu sisi kanan KMP Elizabeth II, langsung menuju ke lantai III kamar 20, kamar yang sudah dipesan oleh Pastor Oche sebelumnya. Kondisi kamar yang ber-AC dan rasa kantuk yang masih menggantung segera membawa ke alam mimpi setelah selesai membayar administrasi kapal dan kamar. Alarm sudah disetel tepat pukul 03.00 dengan harapan ada waktu untuk mempersiapkan diri sebelum sandar. Ternyata ada satu hal yang keliru, alarm disetel pada hp dengan waktu menunjukkan Waktu Indonesia Bagian Barat sehingga tidak ada alarm berbunyi, melainkan sebuah panggilan yang ternyata dari Iron (Heronimus Reyaan –driver Paroki Maria Bintang Laut) pada pukul 04.00 WIT, dengan bertatih-tatih gorden kamar tersibak dan terhampar lautan, “masih belum sampai Ron, nanti kalau sudah sandar saya kabari”, demikian isi telephon-ku padanya. Kubuka pintu kamar dan bergegas menuju toilet, weits .... ternyata aku sudah sampai dan kapal sudah sandar, mungkin sudah setengah jam lalu, bergegas ku telephon kembali Iron dan menyampaikan bahwa aku sudah sandar. Bertatih kujinjing tas pakaian, tas obat-obatan ternak dan kardus rumput serta kugendong ransel setelah laptop dan ubo rampenya dimasukkan kedalam ransel. Sambil menunggu Iron, aku duduk di buritan atas sambil melihat turunnya penumpang lain dan sepeda motor. Setelah Iron sampai, perjalanan menuju Kepastoran Namlea adalah destinasi berikutnya. Selepas shubuh, menanti sambil menonton televisi dan tentunya mereguk kopi adalah aktifitas pengisi Minggu pagi sampai Bruder Petrus bangun dan bersiap memimpin kebaktian sore itu. Diskusi kecil tentang kondisi terakhir di Metar, dataran Waelo, kecamatan Waeapo memberi informasi yang mencengangkan, membangkitkan rasa keprihatinan dan menjadi tantangan dengan nilai peluang luar biasa.

Kebanyakan masyarakat Waelo saat ini, khususnya laki-laki sedang demam menambang emas. Banyak aktifitas yang ditinggalkan untuk pergi mendulang emas. Sebuah keprihatinan, karena efek sosial yang negatif sangat mungkin terjadi dan ‘pemanfaatan’ masyarakat oleh pendatang akan sangat mungkin terjadi, mengingat keterbatasan informasi tentang hal baru tersebut. Memang benar adanya, emas bagaikan gula yang menarik semut-semut untuk berdatangan, tak ayal berita tentang emas menjadi sengatan magnit yang sangat dahsyat, ribuan orang berduyun mendatangi gunung emas dan mengadu nasib mendulang emas, dari Pulau Buru sendiri, dari Sulawesi, dari Jawa semuanya bedatangan ke Dusun Wansait, Anhoni dan Sampeno . Emas yang bentuknya seperti vetsin itu menjadi incaran banyak penambang. Dengan karcis masuk sebesar Rp 100.000 per orang per hari, ditambah dengan bekal makan , mereka mentargetkan harus mendapat minimal 1 gram emas per dua hari sehingga dengan perhitungan satu gram yang dihargai Rp 350.000 (sebelumnya sempat Rp 450.000 per gram, lalu turun kerena ada usaha konspirasi ‘menterpaksakan masyarakat’), dikurangi biaya ‘parkir diri’ sebesar Rp 200.000, dikurangi lagi dengan biaya makan dan rokok sekitar Rp 75.000 – 100.000, maka masih ada Rp 50.000 sebagai upah kerja. Rata-rata mereka mendapat 1,5 – 2 gram emas. Hampir setiap sudut pembicaraan warga selalu berkisar tentang emas, emas dan emas. Beberapa titik sumber emaspun terkuak, ada di Dusun Metar, Desa Wabsalit dan Desa Weflan. Pemerintah Daerah berencana mengambil alih lokasi pada awal Februari nanti, dengan alasan keamanan dan pengelolaan yang lebih baik.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

top [url=http://www.001casino.com/]casino online[/url] check the latest [url=http://www.casinolasvegass.com/]online casino[/url] autonomous no store hand-out at the leading [url=http://www.baywatchcasino.com/]online casinos
[/url].

Mengenai Saya

Foto saya
keberadaan saya didunia ... bagi saya adalah keberkahan yang sangat besar .. anugerah tiada tara .. dunia peternakan menjadi salah satu tempat terindah yang saat ini saya selami ... sedikit yang saya dapat berikan saat ini ... sedikit yang dapat saya abdikan saat ini ...

COWMANIA

COWMANIA